Tidak pernah terbayangkan sebelumnya saya
bisa mengunjungi Pulau Sabu yang merupakan salah satu pulau kecil di Indonesia
yang memiliki segala keunikannya. Untuk mengunjungi Pulau Sabu, anda
harus terbang dulu ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya dari Kupang ada
tiga pilihan transportasi menuju Sabu. Pertama adalah dengan pesawat Susi Air,
ini adalah cara tercepat dan termahal mencapai Kota Seba (Ibu kota Kabupaten
Sabu Raijua) tapi dengan jadwal yang pasti. Susi Air terbang ke Sabu setiap
hari dengan kapasitas penumpangnya hanya 12 orang. Kedua dengan kapal cepat
yang berangkat dari pelabuhan Tenau dengan lama perjalanan sekitar 4 jam.
Sayangnya kapal cepat ini hanya beroperasi seminggu dua kali, yaitu hari senin
dan jumat berangkat dari Kupang dan kembali ke Kupang keesokan harinya (selasa
dan sabtu). Pilihan terkahir yaitu dengan kapal ferry yang berangkat dari
pelabuhan Bolok, dengan lama perjalanan sekitar 14 jam.Ferry ini juga hanya
beroperasi seminggu dua kali, yaitu senin dan jumat.
Kami menginap di sebuah hotel yang sederhana
dan cukup nyaman yang letaknya tidak jauh dari pantai Napae. Pantai Napae
berlokasi di Kecamatan Sabu Barat, letak wisata ini tidak jauh dari Pelabuhan Laut
Seba dan Bandar Udara Tardamu. Hal ini memudahkan wisatawan untuk menjangkau
destinasi ini ketika berada di Sabu Barat. Pasir putih kecoklatan sepanjang
bibir pantai menjadi daya tarik bagi wisatawan. Kontur pantai ini landai dan
ombaknya tidak begitu besar sehingga aman untuk berenang ataupun bermain air.
Lokasi wisata ini juga dilengkapi fasilitas seperti lopo (sebutan masyarakat
setempat untuk Gazebo) berarsitek khas Sabu dengan atap dari daun lontar dan
alang-alang. Karena menghadap ke barat, Pantai Napae merupakan lokasi yang
tepat untuk melihat panorama matahari terbenam (sunset).
sunset di pantai napae
Lopo di pantai Napae
Setelah seminggu
berada disini untuk menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tujuan utama kami
datang ke Kabupaten Sabu Raijua, kami berkesempatan untuk mengunjungi surga
kecil tersembunyi di Pulau Sabu. Perjalanan kami mulai dari Kota Seba pada
pukul 13.00 WITA. Sekitar 10 Km dari kota Seba, kami singgah di Kecamatan Hawu
Mehara. Disini terdapat tempat wisata yang bernama Gua Lie Madira. Sesampainya
di tempat ini ternyata pintu masuk ke gua ini masih dalam keadaan terkunci, dan
salah satu dari teman kami harus menjemput Ibu penjaga gua ini di rumahnya. Di
sekitar objek wisata Lie Madira terdapat fasilitas lopo yang disiapkan bagi
pengunjung. Sembari menunggu, kami beristirahat di lopo dan berfoto di depan
Lie Madira.
Gua Lie Madira
Rasanya ingin
segera memasuki Lie Madira dan melihat panorama alam yang disuguhkan tempat
ini. Ibu penjaga Lie madira pun datang, dan segera menuntun kami memasuki gua
ini dengan membawa lampu senter. Gua ini tidak dilengkapi dengan lampu, karena
penduduk sekitar masih menjaga keaslian tempat ini. Jadi jika ingin memasukinya
maka harus membawa senter untuk penerangan. Menyusuri gua ini merupakan
tantangan tersendiri bagi mereka yang berjiwa petualang. Stalakmit dan
stalaktit menjadi pemandangan yang luar biasa saat kami menyusuri gua ini.
Sungguh menakjubkan, disela-sela dinding terdapat akar pohon yang menempel,
yang kita tak kan tahu sampai dimana ujungnya. Lie Madira merupakan gua alam
dimana dalam gua tersebut terdapat kolam air. Konstruksi gua yang berlekak
lekuk serta air yang jernih menjadi tempat pemandian yang asyik dan
menyenangkan. Tak ada salahnya sekedar membasuh muka beberapa kali untuk
merasakan kesegaran air di tempat ini.
Perjalanan kami
lanjutkan menuju Kelebba Maja yang terletak di desa Raerobo. Kondisi jalan yang
tidak terlalu bagus dan berkelak kelok, aspal jalan yang mulai terkelupas
disana disini menjadi teman perjalanan kami. Di sebelah kiri pemandangan laut
nan jauh tapi terliaht biru menawan. Bukit-bukit yang banyak ditanami tanaman
nira merupakan pemandangan khas di pulau ini. Penduduk sekitar banyak
memanfaatkan pohon nira untuk dijadikan sebagai gula semut dan gula sabu.
Sesekali kami jumpai rumah asli penduduk sabu yang belum terjamah oleh
modernisasi. Anak-anak kecil menggendong jeriken yang berisikan air. Inilah
pemandangan dan keasrian sabu yang jarang kita temui di tempat lain. Jalan
aspal pun sudah tergantikan oleh jalan beton. Jalannya pun tidak rata hanya di
sebelah kanan dan kiri, pas untuk posisi ban mobil kita. Sesekali kita harus
menyeberangi sungai yang sudah mengering yang terbentang memotong jalan yang
kita lalui. Jalan pun beralih menjadi jalan tanah berbatu dan masih naik turun
bukit. Sungguh perjalanan panjang yang penuh tantangan. Sesekali kami berhenti
sejenak untuk berfoto di pinggir pantai yang kami lewati. Sungguh indah
pemandangan disini, laut yang biru bening dipadukan dengan ombak putih
membentur karang seolah-olah berusaha menaklukkan keperkasaan batu karang yang
berdiri kokoh.
Hal yang tidak
kami bayangkan sebelumnya. Tebing berukir indah berwarna gradasi merah marun,
pink, coklat dan kelabu itu tampak jelas dari jalan raya, terutama di sisi
sebelah kanan, karena tertimpa sinar matahari. Pilar-pilar batu berwarna merah
muda dengan puncak berbentuk mirip jamur berwarna merah tua juga tampak seksi
menggoda. Rasanya bahagia tak terkira bisa menemukan salah satu keajaiban alam
yang letaknya sangat tersembunyi ini. Perjuangan berat untuk mencapai tempat
ini terbayar lunas begitu saya bisa melihat dengan mata kepala sendiri tebing
dan pilar-pilar batu yang sangat mempesona ini.
Kelebba Maja
Saya ingin
segera mendekati, menyentuh dan memeluknya. Namun, saya masih harus bersabar,
karena lokasi itu berada jauh di bawah sana. Kami harus berjalan menuruni
bukit, menyusuri jalan setapak beberapa ratus meter di antara tanaman berduri
dengan rute yang tak begitu jelas. Sesekali kami harus berbalik arah karena
salah jalan. Memang, tak ada jalan pintas menuju surga. Kelebba Maja, nama
tempat yang saya maksud.
Tempat ini masih
dianggap keramat oleh warga sabu karena merupakan tempat untuk pemujaan
terhadap Dewa Maja dan tempat untuk menyelenggarakan upacara adat. Turis
ataupun pengunjung yang ingin mengunjungi Kelebba Maja harus ditemani
pemandu/warga sabu. Setelah berjalan sekitar lima belas menit, menyusuri jalan
setapak yang penuh pohon berduri di kanan kirinya, akhirnya kami benar-benar di
depan Kelebba Maja. Pilar-pilar batu dengan warna warni indah benar-benar di
depan mata saya. Pilar-pilar batu bertopi mirip jamur di Kelebba Maja berada di
lembah dengan tebing-tebing berukir cantik penuh warna, membuat saya takjub dan
tak bisa berkata-kata. Saya seperti tak percaya dengan pemandangan bak di
negeri dongeng, yang ada di depan saya. Saya benar-benar bersyukur bisa
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, salah satu keajaiban alam yang dimiliki
Indonesia. Mungkin Tuhan sedang tersenyum saat menciptakan Kelebba Maja,
sehingga tercipta pahatan alam yang begitu menakjubkan. Saya berdoa dalam hati
semoga Kelebba Maja tetap alami dan bebas dari tangan jahil yang merusak
keindahannya.
Matahari sudah
hampir tenggelam, kami pun bergegas untuk segera meninggalkan Kelebba Maja.
Terlebih saya sedang menjalankan ibadah puasa. Sebenarnya saya belum puas dan
masih ingin menikmati keindahan tebing ini, tapi mengingat jalan panjang (dan
tidak bagus) yang harus ditempuh untuk kembali ke hotel, terpaksa kami harus
meninggalkan Kelebba Maja. Sambil berjalan mendaki bukit menuju jalan raya,
saya pun berfikir kelak saya pasti akan merindukan tempat ini (Fr).